Rabu, 24 April 2013

Lebih dalam tentang Lag dan Lead Measure


Pembicaraan tentang Lag dan Lead Measure mengemuka sejak banyak orang membaca buku 4 disiplin eksekusi tulisan Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling. Bagi yang baru tahu ada utak-atik-gathuk baru namanya Lag Measure dan Lead Measure, kita cekidot beberapa contoh mengenai Lag dan Lead Measure berikut ini:

Sebuah chain store sepatu sedang mengalami penurunan bisnis. Omset mereka terus menurun dari waktu ke waktu. Para manager toko berfikir keras bagaimana trend omsetnya rebound. Ada 2 pendekatan yang biasa dilakukan: yaitu pertama melakukan briefing rutin setiap pagi  kepada seluruh karyawan toko. Disitu disampaikan hasil penjualan hari yang lalu dan berapa gap dengan target yang seharusnya dicapai. Kemudian diakhiri dengan motivasi lebih semangat bahwa seluruh karyawan harus bekerja lebih keras untuk bisa menjual lebih.  Hasil penjualan hari lalu yang digunakan untuk briefing dinamakan Lag Measure. Karakter Lag Measure adalah mudah diukur (jelas) namun sulit dipengaruhi(karena sudah lewat).

Pendekatan kedua yang mereka lakukan (melalui konsultan bisnisnya) adalah mengurai setiap titik interaksi customer dengan toko dan mengevaluasi hal-hal yang bisa di-improve. Istilah titik interaksi customer dengan toko sepatu biasanya disebut moment of truth (MOT). Sebetulnya kalo diurai MOT pertama adalah ketika si pelanggan terbangun dari tidurnya dan menjumpai bahwa sepatunya hanyut terbawa banjir, sehingga memunculkan gagasan logis bahwa dia harus beli sepatu baru. Kemudian MOT terakhir adalah ketika si customer mau tidur dan teringat bahwa dia harus menyimpan sepatu di atas lemari dan tidak meninggalkannya di luar J.  Namun fokus artikel ini membatasi MOT diawali sejak customer masuk toko dan diakhiri ketika staf kasir menyodorkan struk (dan sepatu yang telah dibelinya). Dari pendekatan ini didapat fakta bahwa successful selling rate nya rendah, karena dari sekian banyak pengunjung ternyata hanya sedikit yang akhirnya membeli sepatu. Dan dari sedikit pembeli, lebih sedikit lagi yang menjadi pelanggan (customer loyalty masih rendah).

 Setelah dianalisa, ditetapkan bahwa untuk meningkatkan succesful selling rate, sales toko dalam proses melayani pengunjung harus menyodorkan minimal 6 pasang sepatu (bisanya hanya 1-2 pasang sepatu) per pengunjung. Dengan demikian setiap ekspektasi pengunjung selalu bisa dipenuhi toko, baik ekspektasi style, merk, maupun harga yang cocok sehingga selling ratenya meningkat. Kemudian ketika pengunjung telah menentukan pilihannya, sales toko harus menyampaikan bahwa ada diskon harga sepatu khusus jika pengunjung apply membership toko saat itu juga. Hal itu kemudian meningkatkan jumlah member toko. Kedua langkah itulah yang meningkatkan jumlah transaksi yang pada gilirannya meningkatkan omset toko. Pendekatan ini menggunakan parameter Lead Measure yaitu jumlah sepatu yang disodorkan ke pengunjung dan jumlah pelanggan yang menjadi member toko. Karakter dari lead measure adalah lebih sulit diukur namun mudah dipengaruhi.

Contoh berikutnya adalah program diet penurunan badan. Kebetulan hasil medical check-up saya menyatakan kalo saya mulai kena obesitas J:

Diketahui: Saya ingin turun badan 5 kilo dalam 3 bulan
Ditanyakan: Sebutkan parameter yang termasuk Lead Measure dan Lag Measure (plus tanda seru)
Kunci Jawaban:  Parameternya adalah:
1.       Jumlah kalori dari asupan setiap hari (lead)
2.       Jumlah jam olahraga setiap hari (lead)
3.       Angka yang muncul di timbangan badan setiap hari (Lag Measure)

Dari contoh diatas semakin jelas bahwa Lead Measure adalah semua faktor yang menyebabkan hasil, sedangkan hasil yang didapat merupakan Lag Measure-nya. Maka kemudian banyak orang mengagung-agungkan Lead Measure dan terkesan meremehkan Lag Measure.

Yang kemudian menjadi masalah adalah, karakter Lead Measure yang sulit diukur memunculkan isu akurasi data. Menghitung total jumlah sepatu yang disodorkan biasanya dari pengakuan sang sales. Menghitung jumlah kalori dan jumlah jam olahraga juga relatif menuntut disiplin dan kejujuran. Ini berbeda dengan melihat Lag Measure yang relatif mudah, tinggal melihat pencapaian omset atau melihat angka di timbangan.

Isu akurasi data ini akan menjadi signifikan dalam lingkungan yang lebih komplek, misalnya dalam bisnis retail berskala nasional. Untuk skala Indonesia, sebuah bisnis retail mungkin harus memiliki lebih dari 5000 canvasser. Untuk membuat canvasser sejumlah itu selalu jujur dalam membuat pengakuan adalah hal yang lumayan sulit. Untuk itulah kemudian perlu dibuat skema yang efisien dalam mengelola reporting yang akurat. Dan itu emmbutuhkan minimal 2 hal:
  • Sistem IT/IS yang memadai dan mendukung kerja sehingga meringankan kerja lapangan bukannya menambah beban kerja
  • Skema reporting yang terkait erat dengan insentif atau komisi, sehingga menjadi motivasi kuat dalam disiplin eksekusi

Dua hal diatas merupakan Critical Success Factor dalam penyediaan Lead Measure yang akurat. Dan saya akui hal itu masih menjadi isu besar dalam lingkungan kerja terdekat saya, meski tidak semua pihak setuju dengan pendapat saya pribadi ini. Yang masih saya lihat adalah semua data Lead Measure yang ada belum ‘mampu berbicara dengan jelas’ mengenai apa yang akan terjadi. Nah, dalam kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka, sayang tidak sayang kemudian logis kalau kita harus menghadapkan wajah pada data Lag Measure yang jelas akurasi dan terukurnya. Jadi filosofinya: referensi pada Lag Measure, action pada Lead Measure. Logikanya mirip orang nonton TV dimana yang dijadikan patokan adalah apa yang keluar dari layar. Dan kalo dia ingin gambarnya lebih jernih, atau channelnya lebih banyak, maka yang diutak-atik antenanya atau antenanya di-upgrade menjadi antena parabola atau saluran TV berlangganan.

Dengan alasan diatas, saya kurang setuju dengan pendapat yang ekstrim terlalu mengagungkan Lead Measure dan meremehkan Lag Measure. Saya setuju bahwa pendekatan Lead Measure akan membawa operasional bisnis ke level yang lebih tinggi. Namun pengabaian Lag Measure juga bukan hal yang bijaksana. Menyitir kata sahabat saya Mas Moo, “kadang ada kondisi dimana kita seperti dalam scene awal film Saving Private Ryan, saat menghadapi penyergapan tak terduga di pantai membuyarkan semua strategi kita. Posisi dan waktu yang kritis menuntut kita harus bergerak cepat dan segera. Bergerak kemana? Kemana saja, yang penting tidak disini!”  Terlalu banyak analisa dan ketakutan untuk segera membuat keputusan hanya semakin memperbanyak korban dan memperlemah posisi kita.

1 komentar:

  1. terimakasih mas atas pencerahan arti dari lag measure dan lead measure, saya udah baca bukunya dampe page 390, baru tau artinya sekarang wkwk

    BalasHapus