Pembicaraan tentang Lag dan Lead Measure mengemuka sejak banyak orang membaca buku 4 disiplin
eksekusi tulisan Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling. Bagi yang baru tahu
ada utak-atik-gathuk baru namanya Lag Measure dan
Lead Measure, kita cekidot beberapa contoh mengenai Lag dan Lead Measure berikut ini:
Sebuah chain store sepatu sedang mengalami penurunan bisnis. Omset mereka
terus menurun dari waktu ke waktu. Para manager toko berfikir keras bagaimana
trend omsetnya rebound. Ada 2
pendekatan yang biasa dilakukan: yaitu pertama melakukan briefing rutin setiap pagi
kepada seluruh karyawan toko. Disitu disampaikan hasil penjualan hari
yang lalu dan berapa gap dengan target yang seharusnya dicapai. Kemudian diakhiri
dengan motivasi lebih semangat bahwa seluruh karyawan harus bekerja lebih keras
untuk bisa menjual lebih. Hasil
penjualan hari lalu yang digunakan untuk briefing
dinamakan Lag Measure. Karakter Lag Measure adalah mudah diukur (jelas)
namun sulit dipengaruhi(karena sudah lewat).
Pendekatan kedua yang mereka
lakukan (melalui konsultan bisnisnya) adalah mengurai setiap titik interaksi
customer dengan toko dan mengevaluasi hal-hal yang bisa di-improve. Istilah titik interaksi customer dengan toko sepatu biasanya
disebut moment of truth (MOT). Sebetulnya
kalo diurai MOT pertama adalah ketika si pelanggan terbangun dari tidurnya dan
menjumpai bahwa sepatunya hanyut terbawa banjir, sehingga memunculkan gagasan
logis bahwa dia harus beli sepatu baru. Kemudian MOT terakhir adalah ketika si
customer mau tidur dan teringat bahwa dia harus menyimpan sepatu di atas lemari
dan tidak meninggalkannya di luar J. Namun fokus artikel ini membatasi MOT diawali
sejak customer masuk toko dan diakhiri ketika staf kasir menyodorkan struk (dan
sepatu yang telah dibelinya). Dari pendekatan ini didapat fakta bahwa successful selling rate nya rendah,
karena dari sekian banyak pengunjung
ternyata hanya sedikit yang akhirnya membeli sepatu. Dan dari sedikit pembeli,
lebih sedikit lagi yang menjadi pelanggan (customer loyalty masih rendah).
Setelah dianalisa, ditetapkan bahwa untuk
meningkatkan succesful selling rate, sales
toko dalam proses melayani pengunjung harus menyodorkan minimal 6 pasang sepatu
(bisanya hanya 1-2 pasang sepatu) per pengunjung. Dengan demikian setiap
ekspektasi pengunjung selalu bisa dipenuhi toko, baik ekspektasi style, merk,
maupun harga yang cocok sehingga selling
ratenya meningkat. Kemudian ketika pengunjung telah menentukan pilihannya,
sales toko harus menyampaikan bahwa ada diskon harga sepatu khusus jika
pengunjung apply membership toko saat
itu juga. Hal itu kemudian meningkatkan jumlah member toko. Kedua langkah itulah yang meningkatkan jumlah
transaksi yang pada gilirannya meningkatkan omset toko. Pendekatan ini
menggunakan parameter Lead Measure
yaitu jumlah sepatu yang disodorkan ke pengunjung dan jumlah pelanggan yang
menjadi member toko. Karakter dari
lead measure adalah lebih sulit diukur
namun mudah dipengaruhi.
Contoh berikutnya adalah program
diet penurunan badan. Kebetulan hasil medical check-up saya menyatakan kalo
saya mulai kena obesitas J:
Diketahui: Saya ingin turun badan
5 kilo dalam 3 bulan
Ditanyakan: Sebutkan parameter
yang termasuk Lead Measure dan Lag Measure (plus tanda seru)
Kunci Jawaban: Parameternya adalah:1. Jumlah kalori dari asupan setiap hari (lead)
2. Jumlah jam olahraga setiap hari (lead)
3. Angka yang muncul di timbangan badan setiap hari (Lag Measure)
Dari contoh diatas semakin jelas
bahwa Lead Measure adalah semua
faktor yang menyebabkan hasil, sedangkan hasil yang didapat merupakan Lag Measure-nya. Maka kemudian banyak
orang mengagung-agungkan Lead Measure dan terkesan meremehkan Lag Measure.
Yang kemudian menjadi masalah
adalah, karakter Lead Measure yang
sulit diukur memunculkan isu akurasi data. Menghitung total jumlah sepatu yang
disodorkan biasanya dari pengakuan sang sales. Menghitung jumlah kalori dan jumlah
jam olahraga juga relatif menuntut disiplin dan kejujuran. Ini berbeda dengan
melihat Lag Measure yang relatif
mudah, tinggal melihat pencapaian omset atau melihat angka di timbangan.
Isu akurasi data ini akan menjadi
signifikan dalam lingkungan yang lebih komplek, misalnya dalam bisnis retail
berskala nasional. Untuk skala Indonesia, sebuah bisnis retail mungkin harus
memiliki lebih dari 5000 canvasser. Untuk membuat canvasser sejumlah itu selalu
jujur dalam membuat pengakuan adalah hal yang lumayan sulit. Untuk itulah
kemudian perlu dibuat skema yang efisien dalam mengelola reporting yang akurat.
Dan itu emmbutuhkan minimal 2 hal:
- Sistem IT/IS yang memadai dan mendukung kerja sehingga meringankan kerja lapangan bukannya menambah beban kerja
- Skema reporting yang terkait erat dengan insentif atau komisi, sehingga menjadi motivasi kuat dalam disiplin eksekusi
Dua hal diatas merupakan Critical Success Factor dalam penyediaan
Lead Measure yang akurat. Dan saya
akui hal itu masih menjadi isu besar dalam lingkungan kerja terdekat saya,
meski tidak semua pihak setuju dengan pendapat saya pribadi ini. Yang masih
saya lihat adalah semua data Lead Measure
yang ada belum ‘mampu berbicara dengan jelas’ mengenai apa yang akan terjadi.
Nah, dalam kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka, sayang tidak sayang
kemudian logis kalau kita harus menghadapkan wajah pada data Lag Measure yang jelas akurasi dan
terukurnya. Jadi filosofinya: referensi pada Lag Measure, action pada Lead
Measure. Logikanya mirip orang nonton TV dimana yang dijadikan patokan
adalah apa yang keluar dari layar. Dan kalo dia ingin gambarnya lebih jernih,
atau channelnya lebih banyak, maka yang diutak-atik antenanya atau antenanya
di-upgrade menjadi antena parabola
atau saluran TV berlangganan.
Dengan alasan diatas, saya kurang
setuju dengan pendapat yang ekstrim terlalu mengagungkan Lead Measure dan meremehkan Lag
Measure. Saya setuju bahwa pendekatan Lead
Measure akan membawa operasional bisnis ke level yang lebih tinggi. Namun
pengabaian Lag Measure juga bukan hal yang bijaksana. Menyitir kata sahabat
saya Mas Moo, “kadang ada kondisi dimana kita seperti dalam scene awal film Saving Private Ryan, saat menghadapi penyergapan
tak terduga di pantai membuyarkan semua strategi kita. Posisi dan waktu yang
kritis menuntut kita harus bergerak cepat dan segera. Bergerak kemana? Kemana
saja, yang penting tidak disini!” Terlalu
banyak analisa dan ketakutan untuk segera membuat keputusan hanya semakin
memperbanyak korban dan memperlemah posisi kita.