Dalam industri seluler Indonesia,
jelas terlihat bahwa perebutan pelanggan sangat ‘main fisik. pemenang kompetisi adalah yang terluas dan
terkuat jaringannya. Size does matter... para pemenang adalah mereka yang memiliki
BTS terbanyak diantara operator yang lain. Oleh karena itulah perlombaan
membangun sebanyak-banyaknya BTS baru masih menjadi strategi utama para
operator seluler. Mereka percaya bahwa market share selalu bergerak ke titik
keseimbangan (equilibrium) berdasarkan jumlah BTS. Lebih lagi, keunggulan
jumlah BTS akan menambah market share secara exponential.. misalnya dalam satu
kota perbandingan BTS operator A:B adalah 1:3, maka market share mereka adalah
10%:90%.
Selain itu kita melihat bahwa
operator papan atas biasanya memiliki ‘daerah kekuasaan’, yaitu daerah dimana
market share nya kuat. Misalnya si Biru powerful di Madura dan sekitarnya,
sedangkan si Merah ‘seng ada lawan’ di Indonesia timur. Biasanya ini
dipengaruhi faktor first entrant, yaitu siapa yang lebih duluan masuk ke daerah
itu maka dia yang menguasai market share daerah itu seterusnya. Hal ini karena
perilaku konsumen -biasanya segmen tradisional- yang malas ganti kartu. Pepatah
“lebih mudah merebut kemenangan daripada mempertahankan kemenangan” ternyata
berlaku sebaliknya yaitu “sekali merebut kemenangan di suatu daerah akan sulit digoyahkan”.
Kondisi hypercompetition membawa
beberapa efek bisnis. Efek terbesar adalah menurunnya margin laba. Penurunan
margin laba ini didorong oleh dua hal yaitu:
1. Yang
pertama adalah menurunnya revenue per unit dari layanan eksisting. Ini terasa
pada layanan voice dan SMS yang tarifnya semakin murah. Operator cenderung
mengambil prefix price kemudian menggratiskan sisanya. Hampir semua promo
layanan voice dan sms skemanya yang cenderung menggunakan treshold, artinya
setelah mencapai pemakaian tertentu akan mendapat bonus free use.
2. Yang
kedua adalah revenue per unit dari service baru tidak setinggi revenue per unit
dari service eksisting. Layanan data (internet access) untuk menghasilkan
revenue yang sama dengan voice dan sms membutuhkan resources jaringan yang
lebih besar.
Kedua hal tersebut yang kemudian membuat setiap operator
berusaha mendapatkan kue revenue dari layer diatasnya yang dulu disebut sebagai
VAS, namun saat ini lebih cocok disebut layer aplikasi. Diantara aplikasi yang
trend saat ini adalah OTT messaging dan Blackberry service.
Meskipun demikian, manajemen setiap perusahaan tentu
dituntut agar bisnis perusahaan bisa sustain dan terus berkembang setiap
tahunnya. Maka dari itu terus berinvestasi menambah jaringan adalah sebuah
kewajiban yang mutlak bagi perusahaan seluler. Dalam berinvestasi ini
diperlukan strategi yang tepat dengan ultimate goal bahwa
setiap investasi akan memberikan return yang maksimal. Strategi dalam spending
Capital Expenses inilah yang menjadi pembeda setiap operator yang menentukan
posisi dan nasib mereka dalam kompetisi. Untuk itu manajemen dituntut melakukan smart pending. Smart spending itu mirip membeli raket nyamuk untuk membunuh nyamuk sekaligus sebagai senter. Lawan smart spending adalah stupid spending, misalnya dengan membeli raket nyamuk untuk setiap nyamuk (boros), atau untuk membunuh gajah :) (gak ngefek)
Menurut saya, strategi smart spending akan berjalan baik hanya jika dirancang pada level detail, bukan pada level umum menggunakan pendekatan per daerah/cluster. Pendekatan cluster selama ini sering menjadi praktek yang berlaku di perusahaan. Ini dilakukan dengan membuat prioritasisasi setiap cluster, misalkan ada 15 cluster paling strategis yang akan dikembangkan pada tahun depan dari total 70 cluster. Saya ingin men’challenge’ pendekatan cluster tersebut dengan mengatakan bahwa: pendekatan cluster baik, namun kurang akurat dan kurang efektif.
Menurut saya, strategi smart spending akan berjalan baik hanya jika dirancang pada level detail, bukan pada level umum menggunakan pendekatan per daerah/cluster. Pendekatan cluster selama ini sering menjadi praktek yang berlaku di perusahaan. Ini dilakukan dengan membuat prioritasisasi setiap cluster, misalkan ada 15 cluster paling strategis yang akan dikembangkan pada tahun depan dari total 70 cluster. Saya ingin men’challenge’ pendekatan cluster tersebut dengan mengatakan bahwa: pendekatan cluster baik, namun kurang akurat dan kurang efektif.
Saya rasa strategi yang lebih
baik bisa dilakukan dengan fokus pada dua hal yaitu : peningkatan akurasi, dan
peningkatan revenue assurance:
1. Peningkatan
akurasi dilakukan dengan pedekatan per-site menggantikan pendekatan per cluster.
Prioritas dilakukan dengan me-ranking usulan site baru, yang disort berdasarkan
komitmen revenue yang akan dihasilkan. Bagi perusahaan yang melakukan bottom-up
new site proposal (dikumpulkan dari usulan tiap sales manager), hal ini
menjadikan akan ada semacam “internal bidding”. Site BTS baru yang akan
dibangun hanyalah site-site yang paling menguntungkan.
Lalu,
bagaimana cara mengidentifikasi lokasi site baru yang paling menguntungkan, dan
bagaimana menjaga agar committed revenue yang disampaikan bukan “asal berani”
? cara paling praktis adalah dengan merangking
BTS eksisting berdasarkan produktifitas trafficnya. BTS-BTS paling produktif
kemudian dipilih untuk dianalisa peluang pengembangan jaringan di sekitarnya.
Angka traffic, jumlah subscriber dan revenue dari BTS tersebut menjadi benchmarking proyeksi revenue yang akan
dihasilkan oleh BTS baru.
2. Peningkatan
revenue assurance (jaminan revenue tinggi) dilakukan dengan memprioritaskan
lokasi yang memberikan return maksimal sekaligus resiko yang kecil.
Algoritmanya kira-kira sebagai berikut:
Prioritas
|
Algoritma
|
Benefit
|
Resiko (apakah site baru akan produktif?)
|
Action
|
Prioritas 1
|
BTS eksisting yang congest untuk dilakukan split cell
atau penambahan 3G
|
Segera terisi traffic (limpahan dari site eksisting)
|
Resiko rendah, karena site eksisting terbukti
produktif (proven) menunjukkan daerah tersebut potensial
|
Prioritas berdasarkan Data traffic/okupansi BTS
eksisting di sekitarnya
|
Prioritas 2
|
Pasar (area) yang sangat potensial
|
Segera terisi traffic (estimasi)
|
Resiko Sedang, karena meski keyakinan tinggi tapi
masih berupa estimasi/survey
|
Prioritas dari Sales Manager
|
Prioritas 3
|
Strategi cluster attack
|
Memusatkan kekuatan pada 1 atau bbrp cluster/SA yang
paling potensial, sehingga lebih ‘nendang’
|
Resiko Tinggi, jika ada beberapa titik yang dipasang
karena alasan coverage saja
|
Keputusan strategi dari HQ
|
Algoritma tersebut menggunakan skema
waterfall seperti gambar di bawah ini:
Dengan demikian prioritas 2 akan
dilakukan hanya jika prioritas 1 sudah terpenuhi dengan baik.
Demikian kisi-kisi strategi smart spending dalam BTS rollout. Mudah-mudahan tulisan ini bisa
menginspirasi praktisi telekomunikasi, khususnya di tempat saya berkarya.