Sabtu, 01 Juni 2013

Smart Spending In Cellular Network Rollout


Dalam industri seluler Indonesia, jelas terlihat bahwa perebutan pelanggan sangat ‘main fisik.  pemenang kompetisi adalah yang terluas dan terkuat jaringannya. Size does matter... para pemenang adalah mereka yang memiliki BTS terbanyak diantara operator yang lain. Oleh karena itulah perlombaan membangun sebanyak-banyaknya BTS baru masih menjadi strategi utama para operator seluler. Mereka percaya bahwa market share selalu bergerak ke titik keseimbangan (equilibrium) berdasarkan jumlah BTS. Lebih lagi, keunggulan jumlah BTS akan menambah market share secara exponential.. misalnya dalam satu kota perbandingan BTS operator A:B adalah 1:3, maka market share mereka adalah 10%:90%.
Selain itu kita melihat bahwa operator papan atas biasanya memiliki ‘daerah kekuasaan’, yaitu daerah dimana market share nya kuat. Misalnya si Biru powerful di Madura dan sekitarnya, sedangkan si Merah ‘seng ada lawan’ di Indonesia timur. Biasanya ini dipengaruhi faktor first entrant, yaitu siapa yang lebih duluan masuk ke daerah itu maka dia yang menguasai market share daerah itu seterusnya. Hal ini karena perilaku konsumen -biasanya segmen tradisional- yang malas ganti kartu. Pepatah “lebih mudah merebut kemenangan daripada mempertahankan kemenangan” ternyata berlaku sebaliknya yaitu “sekali merebut kemenangan di suatu daerah akan sulit digoyahkan”.
Kondisi hypercompetition membawa beberapa efek bisnis. Efek terbesar adalah menurunnya margin laba. Penurunan margin laba ini didorong oleh dua hal yaitu:
1.       Yang pertama adalah menurunnya revenue per unit dari layanan eksisting. Ini terasa pada layanan voice dan SMS yang tarifnya semakin murah. Operator cenderung mengambil prefix price kemudian menggratiskan sisanya. Hampir semua promo layanan voice dan sms skemanya yang cenderung menggunakan treshold, artinya setelah mencapai pemakaian tertentu akan mendapat bonus free use.
2.       Yang kedua adalah revenue per unit dari service baru tidak setinggi revenue per unit dari service eksisting. Layanan data (internet access) untuk menghasilkan revenue yang sama dengan voice dan sms membutuhkan resources jaringan yang lebih besar.

Kedua hal tersebut yang kemudian membuat setiap operator berusaha mendapatkan kue revenue dari layer diatasnya yang dulu disebut sebagai VAS, namun saat ini lebih cocok disebut layer aplikasi. Diantara aplikasi yang trend saat ini adalah OTT messaging dan Blackberry service.

Meskipun demikian, manajemen setiap perusahaan tentu dituntut agar bisnis perusahaan bisa sustain dan terus berkembang setiap tahunnya. Maka dari itu terus berinvestasi menambah jaringan adalah sebuah kewajiban yang mutlak bagi perusahaan seluler. Dalam berinvestasi ini diperlukan strategi yang tepat dengan ultimate goal bahwa setiap investasi akan memberikan return yang maksimal. Strategi dalam spending Capital Expenses inilah yang menjadi pembeda setiap operator yang menentukan posisi dan nasib mereka dalam kompetisi. Untuk itu manajemen dituntut melakukan smart pending. Smart spending itu mirip membeli raket nyamuk untuk membunuh nyamuk sekaligus sebagai senter. Lawan smart spending adalah stupid spending, misalnya dengan membeli raket nyamuk untuk setiap nyamuk (boros), atau untuk membunuh gajah :) (gak ngefek)

 Menurut saya, strategi smart spending akan berjalan baik hanya jika dirancang pada level detail, bukan pada level umum menggunakan pendekatan per daerah/cluster. Pendekatan cluster selama ini sering menjadi praktek yang berlaku di perusahaan. Ini dilakukan dengan membuat prioritasisasi setiap cluster, misalkan ada 15 cluster paling strategis  yang akan dikembangkan pada tahun depan dari total 70 cluster. Saya ingin men’challenge’ pendekatan cluster tersebut dengan mengatakan bahwa: pendekatan cluster baik, namun kurang akurat dan kurang efektif.
Saya rasa strategi yang lebih baik bisa dilakukan dengan fokus pada dua hal yaitu : peningkatan akurasi, dan peningkatan revenue assurance:
1.       Peningkatan akurasi dilakukan dengan pedekatan per-site menggantikan pendekatan per cluster. Prioritas dilakukan dengan me-ranking usulan site baru, yang disort berdasarkan komitmen revenue yang akan dihasilkan. Bagi perusahaan yang melakukan bottom-up new site proposal (dikumpulkan dari usulan tiap sales manager), hal ini menjadikan akan ada semacam “internal bidding”. Site BTS baru yang akan dibangun hanyalah site-site yang paling menguntungkan.
Lalu, bagaimana cara mengidentifikasi lokasi site baru yang paling menguntungkan, dan bagaimana menjaga agar committed revenue yang disampaikan bukan “asal berani” ?  cara paling praktis adalah dengan merangking BTS eksisting berdasarkan produktifitas trafficnya. BTS-BTS paling produktif kemudian dipilih untuk dianalisa peluang pengembangan jaringan di sekitarnya. Angka traffic, jumlah subscriber dan revenue dari BTS tersebut menjadi  benchmarking proyeksi revenue yang akan dihasilkan oleh BTS baru.
2.       Peningkatan revenue assurance (jaminan revenue tinggi) dilakukan dengan memprioritaskan lokasi yang memberikan return maksimal sekaligus resiko yang kecil. Algoritmanya kira-kira sebagai berikut:
Prioritas
Algoritma
Benefit
Resiko (apakah site baru akan produktif?)
Action
Prioritas 1
BTS eksisting yang congest untuk dilakukan split cell atau penambahan 3G
Segera terisi traffic (limpahan dari site eksisting)
Resiko rendah, karena site eksisting terbukti produktif (proven) menunjukkan daerah tersebut potensial
Prioritas berdasarkan Data traffic/okupansi BTS eksisting di sekitarnya
Prioritas 2
Pasar (area) yang sangat potensial
Segera terisi traffic (estimasi)
Resiko Sedang, karena meski keyakinan tinggi tapi masih berupa estimasi/survey
Prioritas dari Sales Manager
Prioritas 3
Strategi cluster attack
Memusatkan kekuatan pada 1 atau bbrp cluster/SA yang paling potensial, sehingga lebih ‘nendang’
Resiko Tinggi, jika ada beberapa titik yang dipasang karena alasan coverage saja
Keputusan strategi dari HQ

Algoritma tersebut menggunakan skema waterfall seperti gambar di bawah ini:

Dengan demikian prioritas 2 akan dilakukan hanya jika prioritas 1 sudah terpenuhi dengan baik.
Demikian kisi-kisi strategi smart spending dalam BTS rollout. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menginspirasi praktisi telekomunikasi, khususnya di tempat saya berkarya. 

Rabu, 24 April 2013

Lebih dalam tentang Lag dan Lead Measure


Pembicaraan tentang Lag dan Lead Measure mengemuka sejak banyak orang membaca buku 4 disiplin eksekusi tulisan Chris McChesney, Sean Covey dan Jim Huling. Bagi yang baru tahu ada utak-atik-gathuk baru namanya Lag Measure dan Lead Measure, kita cekidot beberapa contoh mengenai Lag dan Lead Measure berikut ini:

Sebuah chain store sepatu sedang mengalami penurunan bisnis. Omset mereka terus menurun dari waktu ke waktu. Para manager toko berfikir keras bagaimana trend omsetnya rebound. Ada 2 pendekatan yang biasa dilakukan: yaitu pertama melakukan briefing rutin setiap pagi  kepada seluruh karyawan toko. Disitu disampaikan hasil penjualan hari yang lalu dan berapa gap dengan target yang seharusnya dicapai. Kemudian diakhiri dengan motivasi lebih semangat bahwa seluruh karyawan harus bekerja lebih keras untuk bisa menjual lebih.  Hasil penjualan hari lalu yang digunakan untuk briefing dinamakan Lag Measure. Karakter Lag Measure adalah mudah diukur (jelas) namun sulit dipengaruhi(karena sudah lewat).

Pendekatan kedua yang mereka lakukan (melalui konsultan bisnisnya) adalah mengurai setiap titik interaksi customer dengan toko dan mengevaluasi hal-hal yang bisa di-improve. Istilah titik interaksi customer dengan toko sepatu biasanya disebut moment of truth (MOT). Sebetulnya kalo diurai MOT pertama adalah ketika si pelanggan terbangun dari tidurnya dan menjumpai bahwa sepatunya hanyut terbawa banjir, sehingga memunculkan gagasan logis bahwa dia harus beli sepatu baru. Kemudian MOT terakhir adalah ketika si customer mau tidur dan teringat bahwa dia harus menyimpan sepatu di atas lemari dan tidak meninggalkannya di luar J.  Namun fokus artikel ini membatasi MOT diawali sejak customer masuk toko dan diakhiri ketika staf kasir menyodorkan struk (dan sepatu yang telah dibelinya). Dari pendekatan ini didapat fakta bahwa successful selling rate nya rendah, karena dari sekian banyak pengunjung ternyata hanya sedikit yang akhirnya membeli sepatu. Dan dari sedikit pembeli, lebih sedikit lagi yang menjadi pelanggan (customer loyalty masih rendah).

 Setelah dianalisa, ditetapkan bahwa untuk meningkatkan succesful selling rate, sales toko dalam proses melayani pengunjung harus menyodorkan minimal 6 pasang sepatu (bisanya hanya 1-2 pasang sepatu) per pengunjung. Dengan demikian setiap ekspektasi pengunjung selalu bisa dipenuhi toko, baik ekspektasi style, merk, maupun harga yang cocok sehingga selling ratenya meningkat. Kemudian ketika pengunjung telah menentukan pilihannya, sales toko harus menyampaikan bahwa ada diskon harga sepatu khusus jika pengunjung apply membership toko saat itu juga. Hal itu kemudian meningkatkan jumlah member toko. Kedua langkah itulah yang meningkatkan jumlah transaksi yang pada gilirannya meningkatkan omset toko. Pendekatan ini menggunakan parameter Lead Measure yaitu jumlah sepatu yang disodorkan ke pengunjung dan jumlah pelanggan yang menjadi member toko. Karakter dari lead measure adalah lebih sulit diukur namun mudah dipengaruhi.

Contoh berikutnya adalah program diet penurunan badan. Kebetulan hasil medical check-up saya menyatakan kalo saya mulai kena obesitas J:

Diketahui: Saya ingin turun badan 5 kilo dalam 3 bulan
Ditanyakan: Sebutkan parameter yang termasuk Lead Measure dan Lag Measure (plus tanda seru)
Kunci Jawaban:  Parameternya adalah:
1.       Jumlah kalori dari asupan setiap hari (lead)
2.       Jumlah jam olahraga setiap hari (lead)
3.       Angka yang muncul di timbangan badan setiap hari (Lag Measure)

Dari contoh diatas semakin jelas bahwa Lead Measure adalah semua faktor yang menyebabkan hasil, sedangkan hasil yang didapat merupakan Lag Measure-nya. Maka kemudian banyak orang mengagung-agungkan Lead Measure dan terkesan meremehkan Lag Measure.

Yang kemudian menjadi masalah adalah, karakter Lead Measure yang sulit diukur memunculkan isu akurasi data. Menghitung total jumlah sepatu yang disodorkan biasanya dari pengakuan sang sales. Menghitung jumlah kalori dan jumlah jam olahraga juga relatif menuntut disiplin dan kejujuran. Ini berbeda dengan melihat Lag Measure yang relatif mudah, tinggal melihat pencapaian omset atau melihat angka di timbangan.

Isu akurasi data ini akan menjadi signifikan dalam lingkungan yang lebih komplek, misalnya dalam bisnis retail berskala nasional. Untuk skala Indonesia, sebuah bisnis retail mungkin harus memiliki lebih dari 5000 canvasser. Untuk membuat canvasser sejumlah itu selalu jujur dalam membuat pengakuan adalah hal yang lumayan sulit. Untuk itulah kemudian perlu dibuat skema yang efisien dalam mengelola reporting yang akurat. Dan itu emmbutuhkan minimal 2 hal:
  • Sistem IT/IS yang memadai dan mendukung kerja sehingga meringankan kerja lapangan bukannya menambah beban kerja
  • Skema reporting yang terkait erat dengan insentif atau komisi, sehingga menjadi motivasi kuat dalam disiplin eksekusi

Dua hal diatas merupakan Critical Success Factor dalam penyediaan Lead Measure yang akurat. Dan saya akui hal itu masih menjadi isu besar dalam lingkungan kerja terdekat saya, meski tidak semua pihak setuju dengan pendapat saya pribadi ini. Yang masih saya lihat adalah semua data Lead Measure yang ada belum ‘mampu berbicara dengan jelas’ mengenai apa yang akan terjadi. Nah, dalam kondisi ini mau tidak mau, suka tidak suka, sayang tidak sayang kemudian logis kalau kita harus menghadapkan wajah pada data Lag Measure yang jelas akurasi dan terukurnya. Jadi filosofinya: referensi pada Lag Measure, action pada Lead Measure. Logikanya mirip orang nonton TV dimana yang dijadikan patokan adalah apa yang keluar dari layar. Dan kalo dia ingin gambarnya lebih jernih, atau channelnya lebih banyak, maka yang diutak-atik antenanya atau antenanya di-upgrade menjadi antena parabola atau saluran TV berlangganan.

Dengan alasan diatas, saya kurang setuju dengan pendapat yang ekstrim terlalu mengagungkan Lead Measure dan meremehkan Lag Measure. Saya setuju bahwa pendekatan Lead Measure akan membawa operasional bisnis ke level yang lebih tinggi. Namun pengabaian Lag Measure juga bukan hal yang bijaksana. Menyitir kata sahabat saya Mas Moo, “kadang ada kondisi dimana kita seperti dalam scene awal film Saving Private Ryan, saat menghadapi penyergapan tak terduga di pantai membuyarkan semua strategi kita. Posisi dan waktu yang kritis menuntut kita harus bergerak cepat dan segera. Bergerak kemana? Kemana saja, yang penting tidak disini!”  Terlalu banyak analisa dan ketakutan untuk segera membuat keputusan hanya semakin memperbanyak korban dan memperlemah posisi kita.

Senin, 22 Oktober 2012

Strategi Marketing: “Pemaksaan Secara Sistemik”



Pernahkan anda dipaksa menggunakan (dan membayar) suatu layanan dari penyedia layanan tertentu? Saya pernah. Ya, saya pernah ‘dipaksa’ membuat account tabungan BCA oleh kampus saya, karena pihak kampus mewajibkan semua pembayaran kuliah hanya melalui transfer antar rekening BCA.  Karyawan Indosat dulu pun tidak luput dari ‘pemaksaan’ semacam ini, dimana gaji dibayarkan hanya melalui rekening Mandiri. Karyawan Indosat eks-Satelindo pun kabarnya tidak lebih beruntung, karena upah bulanannya pun hanya akan diterima via Bank Artha Graha.
Strategi marketing yang –sebut saja namanya- “pemaksaan secara sistemik”  (atau singkat saja PSS) ini ternyata sangat efektif untuk mengakuisisi dan meretensi customer. Hal ini karena logika si customer sangat jelas yaitu: “saya harus menggunakan layanan ini, atau saya kehilangan akses terhadap sesuatu yang saya sangat butuhkan”.
Bisakah strategi PSS ini diterapkan dalam bisnis seluler? Nampaknya ini adalah alternatif strategi yang sangat perlu dipertimbangkan. Atau jangan-jangan sudah masuk dalam strategi marketing Indosat? Entahlah, karena saya bukan (belum) menjadi orang marketing. Yang pasti, saya ada cerita menarik tentang strategi ‘pemaksaan’ ini.
 Belakangan hari ini teman lama saya menyapa saya via sms melalui nomor Indosat. Saya cukup excited karena tahu dia bertahun-tahun menggunakan nomor Hp Tsel. Saya reply sms dia dan menambahkan ungkapan “terima kasih telah menggunakan produk Indosat.. akhirnya J “ Tak disangka teman lama saya ini membalas lagi dengan sms yang isinya ‘misuh-misuh’ : “Wah saya pake no ini kepaksa tuch! Coz dikasih kantor n harus dipake. Kebetulan suami jg pake Indosat. Tdnya sich antipati, but gmn lagi??” lho… kok malah ngajak berantem sama orang Indosat.. selidik punya selidik, rupanya antipatinya bukan karena isu kualitas atau pelayanan, namun karena isu kepemilikan oleh Israel terkait pemilik Indosat sebelumnya. Alhamdulillah, isu tersebut bisa diluruskan sehingga teman saya bisa lebih ikhlas lagi J menggunakan no indosatnya . Rupanya teman saya pindah menggunakan nomor Indosat karena kantornya mewajibkan karyawannya memakai nomor Indosat yang dibagikan. Salut buat teman-teman marketing, khususnya Indosat Cabang Solo..  great job, guys..
Kita kembali ke topic utama kita mengenai “pemaksaan secara sistemik”(PSS). Ada beberapa case yg bisa di-excercise sebagai penerapan strategi PSS ini. Prinsipnya adalah menjalin kerjasama dengan lembaga yang mempunya customer base yang besar, misalnya lembaga pendidikan, pabrik dan kantor.
Sebagai contoh kerjasama dengan lembaga pendidikan seperti SMU, kampus, atau bimbel besar seperti PRIMAGAMA untuk menyediakan sistem informasi nilai /jadwal berbasis sms. Maka dalam informasi kepada siswa akan tertulis:
Informasi siswa bisa diakses dengan mengirim sms ke 1234 / 0856xxxxxxx:
Nilai Semester: ketik NILAI
Jadwal Semester Depan: Ketik JADWAL
Status Biaya kuliah: ketik BIAYA
Hanya bagi siswa yang telah mendaftarkan no.HP Indosatnya ke Unit Layanan Siswa
Dalam kerjasama ini, pihak penyelenggara pendidikan  dan siswa akan sangat terbantu mendapatkan Layanan reply SMS gratis dengan kewajiban mendaftarkan no.HP mereka. Sementara operator menyediakan sistem SMS nya.  Dengan demikian operator bisa menambah jumlah pelanggan aktif yang ‘suka atau (awalnya) tidak suka’ harus menggunakan produk mereka.

tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Icecube, media sharing idea internal Indosat

Jumat, 12 Oktober 2012

Extreme marketing strategy


 
Posting ini didedikasikan untuk berbagi aneka strategi marketing yang ekstrim namun mencapai tujuannya.
  • IM* freetalk
Prestasi: Mendapatkan 300rb pelanggan pertamanya dalam 3 bulan
Sekitar tahun 1998an, saat pertama kali dikenal public, IM* menggratiskan biaya call local. Nelfon kapanpun dan selama apapun, selama masih 1 cluster GRATISS!. Bisa dibilang, ini gratisan paling jujur dan paling nyata (y) Alhasil, kalangan anak muda menyambut gembira tawaran ini. Apalagi yang punya LDR (long distance relationship) Jakarta – Bandung atau Semarang –Jogja. Bagi IM* hal ini tidak menjadi masalah karena masih dalam fase trial(percobaan) jaringan. Everybody is happy!
  • X* loss billing di Bali
Prestasi: Menjadi market leader di Bali
Salah satu ‘anomali’ di bisnis seluler adalah ‘berkuasa’nya X* di Bali. Mereka mengklaim menguasai 35% marketshare. Seorang kolega dengan rasa ingin tahu besar pernah menawarkan SP Indo*** gratis kepada anak mahasiswa, asal mereka mau menukarkan dengan kartu X* mereka. Dan mereka menolak!. Usut punya usut, rupanya ada hal unik yang menjadikan mereka loyal pada X*. Kabarnya, selalu ada 1 hari setiap bulan dimana counter billing X* mati. Jika hari itu tiba, nelfon dan sms yang dilakukan tidak mengurangi pulsa. Dan itu dialami 1x24 jam!. Anehnya lagi ketika dikomplain ke CSnya, mereka menolak mengakui adanya kerusakan system billing.
  • Sumardy “Peti Mati”
Prestasi: Mampu menciptakan Word of Mouth, sesuai buku WOMM yang dikarangnya
Buku yang mengajarkan Word of Mouth Marketing (WOMM) sudah beredar di toko buku. Tapi keberadaan buku itu sendiri tidak menjadi WOM. Hal ini yang menjadi tantangan bagi Sumardy Ma ketika akan meluncurkan buku karangannya tentang WOMM. Sumardy mengirim peti mati sebagai undangan dan souvenir peluncuran bukunya kepada (rencananya) 100 penggiat dunia marketing. hal ini menjadi berita nasional dalam beberapa hari, dan Sumardy sempat berurusan dengan polisi sebelum akhirnya terbebas dari tuduhan. Seorang penerima peti mati mengungkapkan kekesalannya “saya memiliki anak usia 1 tahun, menerima peti mati berukuran anak kecil, dengan tulisan : Rest in peace soon, sungguh tidak lucu”!

Masih banyak strategi ekstrim yang lain, yang mungkin terpikirkan oleh masing-masing orang. Pernah mengalami, atau ada ide baru? Silakan berbagi di kolom komentar.

Salam

Minggu, 14 Maret 2010

REDUCING LEASE CIRCUIT (LC) COST

I. BACKGROUND

In an emerging market, cellular operator should develop their coverage aggressively to catch market momentum. But usually the development of backbone network cannot grow as fast as coverage invasion. In other hand, new coverage means low traffic that usually unjustified building high capacity backbone network. For those purpose, Lease Circuit (LC) to network partner is the solution.

LC as solution could become new problem when the LC cost is significantly big so it will burden the Operational Expenditure (OPEX) performance. In high competition industry such as Indonesia market where 11 cellular operators are compete, this cost means a lot. So, how could an operator reducing, or at least optimizing LC cost?

This paper is trying to map the problems and circumstances surrounding them, and then raise some way for solution or at least trying to inspire the reader to get ones. I use Indonesia as case.

II. WHY DO WE NEED LEASED CIRCUITS (LC)

We could categorize the reasons for lease the circuits, sorting from the most important, as the followings:

1. Need of coverage/access

In term of network coverage, Java Island is nearly 100% covered, and Sumatra Island is about 80% covered. They are among the strongest island in network coverage. But for the other big islands, those are Kalimantan, Sulawesi, and Papua, our network is comparatively weak. So, for the areas where our own network still cannot reach them, we must lease.

2. Need of Protection

Sometimes we already build the network to an area, but only one mean, let’s say microwave with 1+0/1:0 configuration, or one route fiber optic. One route network, without backup link, is very risky. If the network is fail, the area is easily blackout. We lease the circuit to provide backup link.

3. Need of Additional Capacity

Telecommunication user behavior is very dynamic, due to user mobility, effect of promotion campaign, and so on. Those sometimes make the traffic increasing dramatically. To avoid lost or revenue opportunity, it is urge to increase the capacity of network in weeks. Lease the circuit usually be the instant solution while waiting the additional capacity will be provided internally.

III. PROPOSED SCHEMES FOR REDUCING LC COSTS

There are several schemes could be applied in order to reduce LC costs. Each scheme has its own character that only fit in some conditions. Let’s see the description of them one-by-one, as the followings:

1. Mutual Restoration

When an operator has a fiber optic link with no protection, and in the same time there is another operator also has a fiber optic link, with similar destination and similar condition, they could minimize the outage by having mutual restoration cooperation. It means, first party provides some capacity to second party to be used when second party’s fiber optic is fail, and vice versa.

For the example is mutual restoration between SMW-3 submarine cable system and APCN for route Jakarta – Singapore. If SMW-3 fails, the traffic is routed to APCN, and vice versa.

In this scheme, cost only incurred for restoration time (in day), using agreed unit price that usually equal or less than commercial price. Therefore, this is the most favorable scheme because:

a. Effective to reduce the LC cost.

b. No issue in business impact such as entry barrier of accessing an area, because both operator is already exist in the area

This scheme facing obstacle when there are the difference level of urgency between two operator, and/or incompatibility of technical specs used in optic fiber. For example, one operator is using optic fiber type G.652 but another one is using G.655.

2. Capacity Swap

Theoretically, capacity swap means exchange the capacity between two operators. So if the exchanged capacity is equal, they don’t have to pay anything to other party. But due to government regulation about tax, and also for flexibility in exchanging, capacity swap means 2 operators discussing and negotiating each other needs of leased lines in a package.

Let’s say operator A needs some capacity in Java area, while operator B needs some capacity in Sumatra area. If the final figure of LC cost for operator A is X rupiah, and final figure of LC cost for operator B is Y rupiah, the actual payment should be made is only (X-Y) rupiah.

The advantage of this scheme is that the payment should be made is only the cost difference, not all the cost incurred. The disadvantage of this scheme is relating to business impact. If one operator still want to have entry barrier for other operator to access an area, the deal is difficult to be reached.

3. “Lease for Restoration” Scheme

As stated on point (II.2) one of the reason why we need leased circuit (LC) is the need of protection. The purpose of protection is to reduce the risk. In managing the risk, some rules should be applies as the followings:

1. Cost to avoid the risk is equal to possibility of risk itself. Let’s say if the risk of cable fault of JAKASUSI Cable System in a year is about 2 times (2 weeks / 4%), so the cost should be managed below 4% of main route investment per year.

2. Restoration/risk cost is a wasting cost in normal condition. In some circumstances it is more feasible to face the risk rather than throw some money away for potential loss that not sure will be happened. Therefore, we should find “equilibrium point” between both potential loss and wasting cost should be avoided.

In the way to make leased circuit cost more reasonable, Operator should ask network providers (partners) to offer service scheme called “lease for restoration”. As usage duration for restoration purpose is far less than normal usage, so the leasing cost is managed to be lower. The comparison between normal leasing and lease for restoration as the followings:

4. Temporary Leasing

Temporary leasing is a service intended to provide additional capacity for short term (10 – 60days) and ad-hoc event.

When an operator committed to provide several hotspots in World Ocean Conference in Manado in mid May 2009, it needs additional capacity from Manado to Makassar for about 10 days.

Temporary Leasing has advantage that is no booking fee, so it will be cheaper. But, disadvantage is no committed capacity available when we need it.

We could take the benefit from this scheme for:

a. Planned restoration

b. Ad-hoc restoration, as long as we sure that our partner has available capacity ready.

5. Long term leasing

This scheme has the most similarity with conventional LC. The different is only in the time of lease contract. The point of this scheme is: “instead of having 1 year contract, and then renew it for next 1 year twice, it is much more efficient to have 3 years contract since the beginning”. Network partners are tend to set price lower when contract is longer, because they will divide their overhead margin to bigger number of months, and they are happy with certain committed revenue in longer future.

So, our main task is to define, at the beginning, the period of contract. And it is a difficult task. Our vision is limited only to current year where the CAPEX and OPEX budget is approved and management commitment is stated. That’s why we always play secure by taking 1 year or less leasing contract. And that’s why we charged high. So, to enable us having further vision for 3-5 years ahead, we need to have 3-5 years blueprint in network development, that be approved and refined regularly.

To choose which scheme that fit best in a condition, we could use the flow chart below:


Selasa, 09 Maret 2010

Anthropology, the key success in marketing

Note: kita bicara tentang pasar Indonesia

Ketika sebuah operator mengenalkan blackberry (BB) sebagai alat yang mempunyai fitur push mail, respon pasar tidak seperti yang diharapkan. Bahkan dalam 2 tahun pertama penjualan BB hanya single digit dalam orde ribuan. Namun di tahun berikutnya penjualan BB booming. BB mengguncang kuat market share raja handset. Model contekan yang made in local dan made in China pun bermunculan dan semuanya laris. Tahun 2009 adalah tahun kejayaan BB di Indonesia.

Ada 2 hal yang menjelaskan kenapa orang segera berpaling ke BB:
1. Fitur chat BBM dan browsing yang stay connected karena kestabilan system jaringan
2. Image BB sebagai must have item dalam lifestyle. Bahkan demi mengejar trend banyak orang yang menggunakan BB tanpa tahu dan menggunakan sekalipun fitur BBM dan fitur browsingnya.

Tanpa bermaksud menjudge apalagi melecehkan, itulah fenomena perilaku konsumen di Indonesia: sukanya chat, gaul, dan mengejar predikat trendy. Diawali dengan banyak selebriti yang tertarik memiliki BB karena fitur chat BBM stay connected 24 jam, kemudian sering diekspos di sinetron gaul, maka lengkaplah sudah rumus sukses marketing: alasan fungsional + alasan emosional bersatu dalam gadget BB.

Fenomena BB melengkapi kesimpulan yang mulai mengkristal bahwa untuk industry telekomunikasi, Pasar Indonesia SANGAT UNIK! Itulah mengapa banyak fitur telekomunikasi mutakhir yang pasarnya tidak tumbuh, seperti video call, MMS, PTT. Karena TIDAK CUKUP ALASAN bagi konsumen untuk terus menggunakannya. Tentu akan berbeda jika ada Team Marketing yang bisa mampu create alasan tersebut. Berbeda dengan fitur RBT yang laris meskipun: mahal, kualitas suara mono, yang denger bukan yang bayar.. tapi RBT adalah semacam identitas dan curhatnya si pemilik nomor. Makanya pernah ada bos yang lagi under pressure dicurigai mulai stress oleh orang-2 yang meneleponnya . Apa pasal? Karena anaknya si boss memasang RBT lagu GIGI yang liriknya: panaass.. panass.. panass … dada ini pusing.. pusingg. Pusing… pala ini….hooow…

Dengan keunikan konsumen telekomunikasi di Indonesia, maka kita tidak bisa menggunakan referensi ilmu marketing dari hasil riset negara lain untuk memahaminya. Satu-satunya cara adalah dengan bersungguh-sungguh MENDALAMI PERILAKU orang Indonesia. Misalnya kita harus tahu bahwa di Indonesia ada 25jt pengendara motor Merk Honda, dan penjualan tertinggi tahun kemarin adalah Merk Yamaha. Jadi kita tahu bahwa segmen biker adalah segmen yang sangat besar, dan ketika kita ingin menggarapnya, kita tahu harus ber co-branding dengan siapa. Atau, kita harus tahu bahwa ada ‘perang besar’ antara motor manual dan motor matic dengan arena pertempurannya adalah stricker spakbor belakang motor. Jargon “hari gini oper gigi?” dan “gak punya gigi? Ompong dong..” adalah amunisinya. Tentu tidak termasuk jargon “Warning, anda di belakang orang ganteng” atau “yang jelek boleh duluan”. Kemudian, kita harus tahu bahwa untuk kalangan dengan income sekitar UMR sekalipun, TV dan VCD player adalah barang yang harus dimiliki. Artinya, lifestyle orang Indonesia adalah: meskipun hidup susah sekalipun, hiburan dan bersenang-senang adalah sangat penting. Mereka adalah (maaf) poor with pride. Maka jangan -misalnya- menjual pulsa selular yang sangat murah tapi sangat susah nyambung.

Dan banyak sekali budaya, local wisdom, gaya hidup, dan segala keunikan orang Indonesia yang bisa dicerna untuk menjadi peluang membuat program marketing yang killer. Dari fenomena-2 yang saya ungkapkan di atas, adakah inspirasi program pemasaran yang terlintas..? jika tidak, mulailah hire orang yang punya sensitifitas tinggi untuk itu… tentu saja, native Indonesian should can do best than others…

Kamis, 21 Januari 2010

Menentukan Arah kiblat secara akurat menggunakan GoogleEarth

Dimuat di Tabloid PCplus No. 278 6 Maret 2007

GoogleEarth ( source di http://earth.google.com/ ) yang biasa digunakan untuk melihat lingkungan rumah kita atau tempat-tempat tertentu melalui citra satelit ternyata bisa digunakan untuk menentukan arah kiblat secara akurat. Apakah selama ini shalat kita sudah pas menghadap ke arah Ka’bah di Mekkah? Kalo kita shalat di Masjid Istiqlal, maka insya Allah shalat kita hampir pas kearah ka’bah. Tidak percaya? mari kita buktikan:

Caranya adalah:
Cari lokasi masjid istiqlal, kemudian Add Placemark, beri nama Istiqlal



Hasil penambahan akan muncul di box places

Cari lokasi Ka’bah di mekkah, kemudian Add Placemark, beri nama Kiblat



Klik Ruler, klik pas di tengah Ka’bah
Kemudian double-click istiqlal



paskan garis pada tepi bangunan, kemudian klik mouse dan close menu ruler




Dari gambar tampak bahwa tepi bangunan masjid Istiqlal mendekati posisi sejajar (meski kurang sedikit lagi).

Anda dapat melakukan ini untuk menentukan arah kiblat yang lebih akurat pada masjid di lingkungan anda, dari kantor atau pun dari rumah anda.

Misalnya untuk menentukan arah kiblat pada mushola tiap lantai di Gedung Indosat, Jl. Medan Merdeka Barat Jakarta. Setelah didapat arah berdasarkan Ruler kita tentukan patokan pada landmark di sekitar gedung. Dalam hal ini misalnya sisi kanan gedung Sarana Jaya


Wallahu a’lam bishowab.

Jakarta, 13 Desember 2006